S |
aku pernah miliki bunga indah warnai hariku
ketika dia pergi
aku hanya bisa menyesali
kudapati bunga indahku telah tertaman
bukan dihatiku
meski masih mencintai
bunga indah itu bukan untukku
hanya wangi dan indahnya yang tersisa untukku
selalu ada dalam hati ini
Hari Rabu ini tidak beda dengan hari yang lain di bulan ini. Hujan baru saja berhenti, walau mendung masih terlihat di langit tapi sepertinya hujan tidak akan turun lagi. Udara terasa lebih segar, debu yang biasanya berterbangan tersapu tetesan hujan . Langit biru dan angin yang bertiup pelan menambah segar siang ini. Siang yang indah. Aku berharap indahnya siang ini tidak hanya di mata tetapi juga dapat menambah indah hidupku.
Aku baru saja masuk ke dalam mall, aku tidak perduli dengan orang-orang yang berjalan di depanku. Meski bukan musim liburan dan akhir pekan tetapi pengunjung siang ini lumayan banyak dengan tujuan yang berbeda mungkin belanja atau mungkin hanya sekedar membuang waktu dengan berkeliling mall. Sedangkan aku, tujuanku hanya satu. Menepati janji.
Aku sampai di lantai dua dan melirik ke salah satu café di sana dan tidak terlihat wajah yang aku kenal, aku mengarahkan mataku ke jam tangan, 13.16. Berarti masih ada setengah jam lebih untuk menunggu dia datang. Aku memutuskan untuk masuk ke satu café yang berhadapan dengan tempat kita janjian, jadi aku bisa melihat kalau nanti dia datang.
Secangkir Cappucino baru saja disajikan di depanku, aku melirik ke pelayannya dan mengucapkan terima kasih. Aku melanjutkan membolak-balik majalah yang memang tersedia di café itu sambil sesekali melirik ke café di depan menunggu dia datang.
Waktu berjalan perlahan Cappucino dalam cangkir masih tersisa setengah dan sama sekali tidak panas lagi. Perlahan aku mengangkat cangkir dengan niat untuk menghabiskan sisa kopi sebelum jadi benar-benar dingin. Tanganku tertahan ketika mataku secara sekilas melihat wajah yang begitu akrab di mataku. Walau telah bertahun tidak melihatnya tapi wajah itu tidak bakal bisa terlupakan. Wajah yang dulu begitu akrab denganku.
Sama sekali tidak banyak yang berubah dari dia. Meski dia lebih kelihatan dewasa dan lebih… *tiba-tiba jantungku berdetak tidak seperti biasa, berpacu lebih cepat seperti ingin segera melompat dan mendekat. Sementara hatiku memiliki keinginan yang lain, menahan kakiku untuk melangkah dan membiarkan mataku untuk memandangnya lebih lama lagi dari sini. Memandang sepuas hati tanpa harus mengucapkan sepatah kata melepas rindu yang selama ini terbenam dalam hati.
Dia menoleh ke dalam café, mungkin sedang mencari-cari tanda kehadiranku. Tangannya mengeluarkan handphone dari dalam tas . Jari-jarinya menekan tuts dan kemudian mendekatkan handphonenya ke telinga. Kembali melirik ke dalam café,…
Handphone di dalam saku celanaku bergetar. Di layar handphone tertulis namanya. Jawab tidak, jawab tidak, jawab…
“Hallo…”
“Hallo, aku udah di depan café, kamu di mana?
“Ehh, masih di jalan, ntar lagi sampai.” entah kenapa kata-kata itu keluar begitu saja.
“Kamu tunggu disitu aja dulu, pesan minum atau apalah.”
“Ya udah, aku tunggu di dalam. Tapi jangan lama ya.”
“Enggak, paling lima menitan lagi.”
Dia masuk kedalam dan duduk di pojok café. Aku masih memperhatikan dia yang sekarang lagi berbicara dengan pelayan café. Mungkin lagi memesan minuman. Sekitar beberapa menit kemudian aku bergerak, membayar kopi yang baru saja aku minum dan melangkah pelan ke café di depan. Rasanya seperti mau kencan pertama.
Di depan pintu aku berdiri sejenak menatap ke meja di pojok café, dia sedang sibuk membaca menu yang ada di depannya.
“Hai, lama nunggunya. Sorry ya”
Wajahnya terangkat mencari asal suara yang baru dia dengar. Matanya menatap ke wajahku. Jantung ini kembali berdetak tidak beraturan. Mata itu. Mata indah yang sampai saat ini masih tetap menjadi mata yang terindah yang pernah aku lihat.
“Enggak koq, aku juga barusan sampai.”